22.00
0
Jam Berdenting seakan makin lama kian lambat perputarannya. Hari ini seakan hari yang paling melelahkan bagiku. Puasa pada hari pertama di bulan ramadhan menjadi tantangan tersendiri setelah 11 bulan penuh yang lalu kita habiskan tanpa puasa. Puasa di hari pertama ini cukup membuat aku menyadari artinya kesabaran dan menjaga hawa nafsu sesungguhnya. Pukul empat sore ini telah tiba, aku beranjak menuju rumahku yang indah mengidamkan suasana berbuka puasa pada hari ini bersama keluarga tercinta. Akan tetapi, Jalanan ini terasa begitu sempit. Berbondong – bonding para pengguna jalan mengendarai kendaraannya demi meraih rasa indahnya berbuka dengan keluarga. Bunyi klakson mobil dan motor seakan berbicara bahwa kami sedang terburu – buru ingin tiba dirumah. Aku yang saat itu terpaksa harus berada dalam bus memandangi wajah – wajah lelah yang tersiratkan. Lamunan menghiasi perjalananku sambil melihat sekeliling peristiwa diluar bus yang aku tumpangi. Laki – laki, perempuan, kecil, besar, tua, maupun muda seakan tak sabar menginjakan kaki dirumah. Aku melihat seorang lelaki renta yang tersiratkan wajah lelah, pakaian penuh peluh membasahi dirinya. Menghadi jalanan penuh kendaraan bermotor sambil membawa kantong plastic hitam yang aku rasa isinya adalah makanan untuk keluarganya dirumah. Sore ini bus yang aku tumpangi layaknya mendapat banyak rezeki di bulan puasa dengan mebeludaknya penumpang yang seperti aku, harus berdesak – desakan ditambahlagi dengan suasana macet yang aku alami. Hari ini benar – benar berbeda. Banyak sekali pedagang musiman yang berjualan dipinggir – pinggir trotoar. Pedagang – pedagang musiman tersebut sedang melayani pengunjung dengan rasa bahagia namun tak dapat dibohongi bahwa wajah itu nampak tersiratkan lelah. Peluh membasahi baju yang mereka kenakan sore itu. Sama sepertiku pada sore itu, lelah. Peluhku mengalir menuju kerudung yang aku kenakan sehingga tak dapat dipungkiri bahwa aku sedang kelelahan. Aku baru saja pulang dari rumah temanku, membereskan segala pekerjaan yang belum kami selesaikan. Para pembeli dengan sigapnya memburu makanan yang dijual untuk berbuka puasa disana juga tampak pula tukang parkir yang sedang mencari nafkah dari recehan – recehan uang pemberian orang yang membeli di daerah tersebut. Bunyi pluit sudah menjadi hal biasa. Peluh dimana – mana karena berdesak – desakan. Segera aku memandangi arloji ku, sore itu memang ramai tapi seakan – akan tetap teduh tanpa ada matahari yang menyinari dengan cahayanya yang panas. Senja yang indah bagiku karena dapat melihat suasana luar rumah yang begitu ramai. Pantas saja, ternyata sudah pukul lima. Akhirnya, sampailah aku disebuah tepian jalan menuju rumahku. Tak ada perbedaan yang banyak. Pedagang – pedagang musiman masih tampak dalam keramaian suasana bising akibat kendaraan bermotor yang lalu lintas dijalan itu. Aku turun dari bus dan menginjakkan kaki diatas trotoar dengan peluh yang membasahi segala pakaianku. Kerudungku pun tak luput dari peluh yang mengalir. Perlahan tapi pasti aku mulai berjalan tertatih – tatih karena kelelahan sambil menikmati sisa – sisa tenaga yang aku miliki. Ramai, itulah keadaan yang aku lihat disepanjang jalan padahal sebenarnya arloji telah menunjukkan pukul lima tanda bahwa satu jam lagi kita akan berbuka. Hingga aku tak sadar bahwa aku berjalan cukup lama mengamati keindahan suasana yang aku lihat. Aku menikmati keramaian itu karena jarang sekali aku mendapati suasana seperti ini di bulan lainnya selain dibulan ramadhan. Akhirnya, di pojok sana, di sekeliling rumah – rumah besar itu dan dihiasi pohon sirih yang sudah mulai renta usianya, rumahku berada. Indahnya rumahku tampak dari kejauhan. Sangat rindang dan asri. Angin menghembus menyambutku saat aku mulai berjalan memasuki gang sempit yang berada di jalan itu, sejuknya. Angin sepoi – sepoi bagaikan berada di daerah pegunungan yang dingin, terasa sekali saat itu adalah saat – saat penuh kedamaian. Kembali aku megamati rumah yang berada disepanjang jalan itu. Yang nampak para penghuninya seperti tak sabar menunggu adzan maghrib berkumandang. Salam pun tak lupa aku haturkan saat aku telah berada di penghujung gang sempit itu. Membuka kuncinya satu persatu sehingga menimbulkan bunyi gesekan pagar besi yang nyaring hampir menyuruh para tetangga melihat apa yang sedang terjadi diluar sana. Tampaklah saat itu Ayahku sedang merapikan tanaman sambil menunggu adzan berkumandang. Dan didalam rumah, ternyata sang Ibu sedang kerepotan karena aku seharian penuh pergi tanpa membantunya memasak untuk hari itu. Segera sajalah aku letakkan tasku, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan peluh yang sedari tadi mengalir. Setelah ku rasa badan ini cukup segar, aku segera membantu Ibu menyiapkan hidangan pembuka puasa dihari pertama. Sambil meminta maaf karena tak bisa membantunya hari ini. Suasana yang ditunggu – tunggu datang juga. Kakakku datang dengan penuh peluh setelah bekerja seharian dikantor. Dan tak lama adzan maghrib pun berkumandang dengan lantangnya dipenjuru area hingga terdengar seperti saling bersahut – sahutan bagai memanggil kami untuk segera berbuka puasa. Dengan mengucap doa dan basmalah, aku menghirup segelas teh hangat untuk memulihkan tenaga yang sedari tadi telah hilang. Alhamdulillah ternyata inilah keindahan puasa pada hari pertama yang dihiasi keramaian, kedamaian maupun kesabaran.

0 komentar:

Posting Komentar